Rabu, 16 September 2015

Mengenal 5 Mafia Berkeley Indonesia

Pada pertengahan dekade 50, tensi antara pemerintah Indonesia dan Belanda sedang tinggi akibat memperebutkanan Irian Barat. Republik Indonesia yang saat itu berapi-api menggelorakan semangat revolusi begitu aktif mengupayakan pembebasan Irian Barat. Tidak main-main, Presiden Soekarno menyerukan Trikora demi merebut Irian Barat dari genggaman Belanda.
Sumitro Djojohadikusumo, Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia saat itu, adalah satu-satunya dosen yang memiliki gelar doktor ekonomi. Karenanya, ia meminta bantuan kawan-kawan dosen dari Belanda dan dari fakultas lainnya untuk membantu pendidikan mahasiswa FEUI.
Sayangnya, ketegangan hubungan kedua negara berpengaruh langsung terhadap ketersediaan tenaga pengajar asal Belanda. Rekan-rekannya dari Belanda meninggalkan Indonesia. 
Sumitro lalu meminta bantuan kepada Ford Foundation yang kemudian memutuskan untuk mengadakan program beasiswa untuk beberapa mahasiswa FEUI terpilih. Mereka kemudian dikirim ke luar negeri dan belajar di University of California, Berkeley, pada tahun 1957.
Beberapa tahun kemudian, pada tahun 1960-an, seluruh mahasiswa yang dikirim telah pulang ke Indonesia, menduduki sejumlah jabatan strategis bidang ekonomi dan keuangan, menentukan kebijakan ekonomi negara pada awal era Orde Baru, serta menghajar habis-habisan inflasi melalui serangkaian kebijakan ekonomi.
Kejeniusan mereka menaklukkan inflasi warisan Soekarno sekaligus menjinakkan ekonomi mendapatkan pujian dari berbagai pihak. Tangan-tangan mereka sukses mengerek ekonomi Indonesia menuju level yang lebih tinggi sekaligus memantapkan nama mereka pada jajaran ekonom top dunia. Kita tentu masih ingat ketika Indonesia mengalami swasembada beras pada awal dekade 80-an. Kita juga ingat bahwa harga seliter bensin jauh lebih murah daripada air minum dalam takaran yang sama.
Namun demikian, tidak semua orang Indonesia menyembah mereka. Sebagian justru mengkritisi pendekatan liberal yang mereka gunakan. Ali Murtopo, Ibnu Sutowo, dan Ali Sadikin adalah contoh jenderal-jenderal yang menentang mereka. Pihak-pihak lainnya juga mengecam mereka dan menilai langkah privatisasi yang mereka lakukan sebagai bentuk penjualan aset-aset bangsa. Oleh David Ransom, ‘anak-anak’ Sumitro ini kemudian dijuluki sebagai ‘Mafia Berkeley.’
Pada perjalanannya, Mafia Berkeley ‘dipakai semaunya.’ Lima tahun pertama Orde Baru, mereka digunakan untuk menyelamatkan perekonomian negara. Harga minyak dunia lepas landas, membuat situasi ekonomi menjadi relatif aman. Soeharto beralih kepada para ekonom berhaluan nasionalis, yang dengan sendirinya membuat jasa Mafia Berkeley tidak digunakan.
Namun, itu bukan akhir kerjasama Soeharto dengan mereka. Para ekonom liberal ini kemudian kembali dipakai saat perekonomian bangsa melambat pada pertengahan dekade 80-an. Saat itu, harga minyak dunia kembali turun. Pada masa kehancuran perekonomian Indonesia akibat krisis moneter yang melanda Asia Tenggara pada tahun 1997, Mafia Berkeley turut dipersalahkan.
Siapa sajakah mahasiswa-mahasiswa kontroversial ini? Mari Mengenal 5 orang Mafia Berkeley.

1. Prof. Dr. Widjojo Nitisastro

Mafia Berkeley 
Pemimpin Mafia Berkeley. Itulah julukan yang diberikan kepada Prof. Dr. Widjojo Nitisastro. Sebagaimana diketahui, ia adalah Menteri Indonesia yang dikenal sebagai arsitek utama perekonomian Orde Baru. Ia pernah diangkat sebagai Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional periode 1971-1973 dan Menko Ekuin sekaligus merangkap sebagai Ketua Bappenas pada periode 1973-1978 dan 1978-1983.
Widjojo berasal dari keluarga pensiunan penilik sekolah dasar. Ayahnya adalah seorang aktivis Partai Indonesia Raya (Parindra) sekaligus penggerak Rukun Tani. Ketika revolusi pecah di Surabaya, ia baru duduk di kelas 1 SMT (setingkat SMA) di St.Albertus, Malang. Pada tahun 1945, Widjojo bergabung dengan pasukan pelajar yang kemudian dikenal sebagai TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar). Widjojo bertempur dengan gagah berani dan nyaris gugur di daerah Ngaglik dan Gunung Sari, Surabaya.
Seusai perang, Widjojo sempat mengajar di SMP selama tiga tahun. Ia kemudian memutuskan untuk melanjutkan pendidikan tingginya di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) dan mengkhususkan diri pada bidang demografi.
Bersama seorang ahli dari Kanada, Prof.Dr.Nathan Keyfiz, Widjojo yang ketika itu masih menjadi mahasiswa menulis sebuah buku berjudul "Soal Penduduk dan Pembangunan Indonesia.” Pada bagian kata pengantarnya, Mohammad Hatta menulis, "Seorang putra Indonesia dengan pengetahuannya mengenai masalah tanah airnya, telah dapat bekerja sama dengan ahli statistik bangsa Kanada. Mengolah buah pemikirannya yang cukup padat dan menuangkannya dalam buku yang berbobot." Buku ini sangat populer di kalangan mahasiswa ekonomi. Widjojo lulus dengan predikat Cum Laude.
Sebagai salah satu mahasiswa paling cemerlang di kampusnya, Widjojo kemudian mendapat kesempatan untuk berkuliah di University of California at Berkeley atas beasiswa dari Ford Foundation. Ia lulus pada tahun 1961.
Widjojo adalah seorang Keynesian. Pemikiran ekonomi yang dianut Widjojo berdasar dari pemikiran John Maynard Keynes yang menyarankan kombinasi antara mekanisme pasar dan intervensi pemerintah. Konsep ekonomi Widjojo—yang kerap disebut pers sebagai ”Widjojonomics”—menekankan prinsip kehati-hatian yang "sangat" (prudent). Pemikiran Widjojo diuraikan dalam buku berjudul “Pengalaman pembangunan Indonesia: Kumpulan Tulisan dan Uraian Widjojo Nitisastro.”

2. Prof. Dr. Emil Salim

Mafia Berkeley 
Prof. Dr. Emil Salim lahir di Lahat, Sumatera Selatan, pada 8 Juni 1930 adalah seorang ekonom, cendekiawan, pengajar, sekaligus politikus terkemuka Indonesia. Ia adalah putra dari Baay Salim dan Siti Syahzinan dari Nagari Koto Gadang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Emil masih memiliki garis keturunan dari salah satu tokoh pendiri republik ini. Ia merupakan keponakan dari seorang pahlawan nasional Indonesia, Haji Agus Salim.
Emil juga merupakan salah seorang di antara sedikit tokoh Indonesia yang memiliki peran skala global. Ia adalah tokoh lingkungan hidup internasional yang pernah menerima The Leader for the Living Planet Award dari World Wide Fund (WWF), suatu lembaga konservasi mandiri terbesar dan sangat berpengalaman di dunia.
Ia juga penerima anugerah Blue Planet Prize pada tahun 2006 dari The Asahi Glass Foundation. Sebelumnya, pada tahun 1994, setelah menyelesaikan jabatan sebagai Menteri Negara Lingkungan Hidup dan Kependudukan, Emil beserta koleganya seperti Koesnadi Hardjasoemantri, Ismid Hadad, Erna Witoelar, M.S. Kismadi, and Nono Anwar Makarim menderikan Yayasan Keanekaragaman Hayati (Yayasan KEHATI), sebuah organisasi nonpemerintah yang bergerak di bidang pelestarian lingkungan.
Emil Salim merupakan salah seorang putra bangsa yang paling lama mengabdi negara dengan menduduki jabatan menteri dan beberapa jabatan lainnya. Ia menjabat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden sejak 10 April 2007. Pada 25 Januari 2010, Emil dilantik kembali menjadi Wantimpres, bahkan menjadi ketuanya.
Sebelumnya, ia beberapa kali menjabat sebagai menteri, antara lain Menteri Negara Penyempurnaan dan Pembersihan Aparatur Negara merangkap Wakil Kepala Bappenas (1971-1973), Menteri Perhubungan (Kabinet Pembangunan II 1973-1978), Menteri Negara Urusan Kependudukan dan Lingkungan Hidup (Kabinet Pembangunan III 1978-1983) dan Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (Kabinet Pembangunan IV dan Kabinet Pembangunan V 1983-1993). Emil Salim adalah tokoh paling senior yang menjabat di pemerintahan dan merupakan sedikit di antara tokoh tiga zaman yang masih aktif berkarier hingga saat ini.

3. Prof. Dr. Ali Wardhana

Mafia Berkeley 
Lahir di Solo, Jawa Tengah, pada tanggal 6 Mei 1928, Prof. Dr. Ali Wardhana menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Ekonomi UI  pada tahun 1958. Lulus dari FEUI, ia melanjutkan studinya ke University of California di Berkeley dan memperoleh gelar Master of Arts tiga tahun kemudian.
Pendidikannya dilanjutkan pada level doktoral. Pada tahun 1962, Ali berhasil menyelesaikan pendidikan doktoralnya dan meraih gelar Ph.D  dari almamater yang sama, yaitu University of California. Judul disertasinya ialah "Monetary Policy in an Underdeveloped Economy: with Special Reference to Indonesia".
Ali menjabat Dekan FEUI selama 10 tahun, yaitu antara tahun 1967-1978. Setahun menjabat sebagai Dekan, Ali ditunjuk untuk menjadi Menteri Keuangan periode 1968-1983. Melihat masa jabatannya yang menyentuh rentang waktu 15 tahun, Ali adalah menteri keuangan terlama yang pernah dimiliki oleh Indonesia. Selesai menjabat menteri keuangan, kariernya naik menjadi Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, Industri, dan Pengawasan Pembangunan.
Jabatan ini diduduki selama lima tahun (1983-1988). Kepakarannya juga diakui lembaga internasional. Rentang waktu 1971-1972 mungkin adalah tahun tersibuknya. Pada September 1971, selain menjabat sebagai Dekan dan Menkeu, ia juga terpilih sebagai Ketua Board of Governors Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) untuk periode 1971-1972.
Ali Wardhana wafat pada 14 September 2015. Ia tutup umur pada usia 87 tahun di Rumah Sakit Medistra, Kuningan.

4. Prof. Dr. Johannes Baptista Sumarlin

 Mafia Berkeley
Lahir di Nglegok, Blitar, Jawa Timur, Johannes Baptista Sumarlin memiliki perawakan yang kecil. Meski begitu, pria kelahiran 7 Desember 1932 ini adalah salah seorang ekonom Indonesia yang pernah memegang berbagai jabatan pemerintahan penting di bidang ekonomi.
Perawakannya yang kecil pernah secara unik menjadi bahan perkenalan dirinya dengan Sudharmono, Menteri Sekretaris Negara era Orde Baru. Ketika itu pada permulaan tahun 1969, atau awal kebangkitan Orde Baru, Sumarlin selaku Deputi Bidang Fiskal dan Moneter Bappenas diminta mendampingi Ketua Bappenas Widjojo Nitisastro menghadiri Sidang Kabinet Terbatas Bidang Ekonomi di Istana Negara.
Sudharmono saat itu masih sebagai Sekretaris Presidium Kabinet. Tugasnya adalah membantu Jenderal Soeharto selaku Ketua Presidium Kabinet Ampera. Dengan gaya yang serius dan lugas, lelaki yang akrab disapa Pak Dhar mengarahkan telunjuknya tepat ke arah Sumarlin.
Ia bertanya kepada Widjojo, “Siapa anak kecil yang duduk di belakang kursi Pak Widjojo itu?”
Widjojo lantas memperkenalkan Sumarlin kepada Sudharmono. Pak Dhar lalu menimpali perkenalan tersebut.
“Oh, ini tenaga yang pernah Pak Widjojo sebutkan tempo hari, yang akan ditarik ke Bappenas?”
Memperoleh perlakuan demikian, Sumarlin sempat bersalah karena berani ikut duduk di belakang Widjojo untuk menghadiri sidang kabinet. Sidang itu memang sebenarnya dihadiri hanya oleh para menteri. Bila pun ada pendamping, orang tersebut harus terlebih dahulu diberitahukan kepada Sekretaris Kabinet.
Sumarlin lalu tawar hati, meminta kepada Widjojo agar pada sidang kabinet selanjutnya diizinkan untuk tidak ikut mendampingi. Namun, Widjojo membesarkan hatinya untuk tetap hadir dalam sidang-sidang kabinet selanjutnya. Ajakan Widjojo kemudian mengantar karier Sumarlin menjadi salah seorang menteri paling dipercaya Soeharto di bidang ekonomi-keuangan.

5. Prof. Dr. Dorodjatun Kuntjoro-Jakti

 Mafia Berkeley
Dorodjatun lahir pada tanggal 25 November 1939 di Rangkasbitung, Banten. Ia merupakan anak kelima dari delapan bersaudara. Ayahnya yang berdarah Jawa-Madura adalah seorang lulusan sekolah teknik di Surabaya, yang kemudian menjadi Kepala PU Karesidenan Banten. Nama Dorodjatun sendiri diambil dari nama kecil Sri Sultan Hamengkubuwono IX karena tanggal lahir Dorodjatun bertepatan dengan hari naik tahta Sang Sultan.
Pada Februari 1998, saat krisis moneter melanda Indonesia, Dorodjatun diangkat sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh RI untuk Amerika Serikat. Lulusan Berkeley ini juga merangkap sebagai Duta Besar LBBP Commonwealth of Dominica, St. Vincent & the Grenadines, St. Lucia, serta Republik Grenada, yang ke semuanya berada di wilayah Laut Karibia.
Mandatnya dilanjutkan pada masa pemerintahan Presiden B.J Habibie sejak tahun pertengahan Juni 1998 dan juga Presiden Abdurrachman Wahid sejak November 1999. Dorodjatun dianggap memiliki kemampuan lobi yang mumpuni, terutama bila urusannya menyangkut lobi terhadap Amerika Serikat.
Pada masa kepemimpinan Abdurrachman Wahid, Dorodjatun sempat ditawari jabatan Menko Perekonomian, namun menolak. Pada tahun 2001, ia kembali ditawari jabatan itu dan akhirnya diangkat oleh Presiden Megawati Soekarno Putri sebagai Menteri Koordinator Perekonomian RI pada Agustus 2001.
Penunjukan dirinya sebagai Menko Perekonomian pun disambut positif oleh pasar. Bahkan, karena faktor namanya, tim ekonomi Kabinet Gotong Royong yang dipimpinnya disebut banyak orang sebagai Tim Impian (The Dream Team). Pada saat menjabat, Dorodjatun fokus pada tiga program utama pemulihan ekonomi nasional, yaitu pembayaran utang luar negeri, desentralisasi daerah, dan tenaga kerja.
Dorodjatun kini menjabat sebagai Guru Besar Emeritus Universitas Indonesia di bidang ekonomi. Selain itu, ia juga merupakan Komisaris Utama Bank BTPN, Komisaris Independen pada perusahaan Asuransi AIA Indonesia dan PT. Hero Supermarket, serta Wakil Presiden Komisaris pada PT. Maxim Mitra Global.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar